Sinopsis Film
Sinopsis Iron Man 3
03.41
So… what’s next for Marvel Studios after the huge success of
that little movie called The Avengers (2012)? It’s the return of the Iron Man,
apparently. Dan di bagian ketiga penceritaannya – yang masih dibintangi oleh
Robert Downey, Jr., Gwyneth Paltrow dan Don Cheadle namun kini disutradarai
oleh Shane Black (Kiss Kiss Bang Bang, 2005) yang menggantikan posisi Jon
Favreau, Iron Man terkesan menyerap secara seksama pola penceritaan yang
diterapkan Joss Whedon dalam The Avengers yakni dengan memasukkan lebih banyak
unsur komedi ke dalam jalan penceritaannya. Hasilnya mungkin akan menghasilkan
pendapat yang beragam dari banyak penggemar franchise ini. But then again…
jelas sama sekali tidak ada salahnya untuk mengambil rute penceritaan yang
berbeda ketika Anda sedang menangani sebuah tema yang telah begitu familiar.
Khususnya ketika Anda mampu menanganinya dengan baik dan berhasil muncul dengan
sebuah presentasi cerita yang benar-benar cerdas dan menghibur.
Berada di linimasa yang terdapat pada waktu beberapa saat
setelah berbagai kejadian yang digambarkan dalam The Avengers, Iron Man 3
membuka kisahnya dengan penggambaran karakter Tony Stark (Downey, Jr.) yang
masih berusaha mencerna berbagai hal yang ia alami selama beberapa waktu
terakhir. Usaha tersebut, sayangnya, justru memberikan rasa depresi pada
kondisi kejiwaan Stark – dan membuatnya tidak dapat tidur, memiliki tingkatan
emosional yang labil dan menghasilkan jarak yang cukup lebar antara dirinya
dengan Pepper Potts (Paltrow) dalam hubungan asmara yang telah mereka jalin.
Dan situasi kehidupan Stark justru tidak akan berjalan lebih baik sesudahnya.
Ia harus menghadapi ancaman yang datang dari dua arah: sosok teroris bernama
Mandarin (Ben Kingsley) yang mengancam akan menghancurkan Amerika Serikat serta
seorang pria bernama Aldrich Killian (Guy Pearce) yang datang dari masa lalu
Pepper Potts dan berusaha untuk merebut perhatiannya kembali.
Kekuatan utama dari seri Iron Man, dan sebuah faktor besar
yang berhasil menarik banyak penggemar baru ketika versi adaptasi live action
dari seri komik Iron Man pertama kali dihadirkan pada tahun 2008 lalu, jelas
berada pada kharisma seorang Robert Downey, Jr dalam memerankan karakter Tony
Stark/Iron Man. Dalam Iron Man 3, Downey, Jr. bahkan diberikan ruang emosional
yang lebih luas lagi guna menyelami kedalaman karakternya, khususnya sebagai
seorang manusia dan bukan hanya sebagai seorang sosok superhero. Tidak hanya
digambarkan sebagai sosok milyuner yang cerdas/womanizer/egois/banyak
bicara/arogan, naskah cerita yang ditulis oleh Shane Black bersama dengan Drew
Pearce, berhasil memberikan gambaran Tony Stark sebagai sosok yang sensitif dan
dipenuhi banyak rasa kekhawatiran ketika harus berhadapan dengan banyak hal
yang mungkin tidak dapat ia tangani. Layaknya manusia biasa. Sisi humanis ini
berhasil dihidupkan oleh Downey, Jr. pada banyak bagian film, namun khususnya
benar-benar terasa ketika karakter Tony Stark/Iron Man digambarkan sedang
berinteraksi dengan karakter seorang anak bernama Harley (Ty Simpkins) – yang
sekaligus menjadi pengingat bahwa karakter superhero favorit Anda kini telah
berada di bawah komando Walt Disney.
Keputusan Black dan Pearce untuk memfokuskan jalan
penceritaan pada sisi personal dari karakter Tony Stark/Iron Man jelas
merupakan sebuah keputusan yang cukup berani. Pada beberapa bagian, keputusan
tersebut membuat Iron Man 3 terkesan sebagai sebuah film bernuansa aksi komedi
yang berdiri sendiri daripada sebagai bagian ketiga dari sebuah franchise film
besar yang bertemakan superhero. Di sisi lain, kemungkinan besar kebanyakan
penonton tidak akan sanggup untuk menahan diri mereka untuk tidak merasa jatuh
hati pada pengembangan cerita yang begitu berhasil akan hubungan yang terjalin
antara Tony Stark dengan karakter-karakter yang berada di sekitarnya. Hubungan
romansa yang ia jalin dengan karakter Pepper Potts berhasil disajikan lebih
dari sekedar kisah jalinan asmara yang sering terasa dihadirkan hanya sebagai
penambahan warna bagi karakter seorang superhero dalam film-film sejenis. Hal
yang sama juga terjadi antara hubungan Tony Stark dengan karakter Colonel James
Rhodes/Iron Patriot yang terlihat semakin padu dengan pertukaran dialog-dialog
bernuansa komedi antara keduanya yang akan mampu menghibur penonton.
Jika ada keluhan yang dapat dirasakan pada alur penulisan
cerita Iron Man 3, maka hal tersbeut mungkin datang dari bagaimana cara Black
dan Pearce terkesan terlalu menggampangkan karakterisasi tokoh-tokoh antagonis
yang hadir di dalam jalan cerita film ini. Menghadirkan tidak kurang dari tiga
karakter antagonis utama, Black dan Pearce sayangnya gagal untuk memberikan
ketiga karakter tersebut porsi penceritaan yang mampu tampil meyakinkan.
Karakter Maya Hansen yang diperankan oleh Rebecca Hall jelas terasa sebagai
karakter yang sia-sia kehadirannya di jalan cerita film ini – dan membuat
setiap orang mengerti mengenai keputusan Jessica Chastain untuk menolak peran
ini. Karakter Aldrich Killian sendiri hadir dalam skala penceritaan yang cukup
besar. Namun sayangnya, motivasi yang diberikan Black dan Pearce untuk karakter
tersebut dalam melakukan berbagai tindakan kekerasannya terkesan begitu ringan
dan kurang kuat. Yang paling mencuri perhatian jelas kehadiran karakter
Mandarin. Meskipun kehadirannya terkesan sebagai karakter antagonis tambahan namun,
secara mengejutkan, karakter inilah yang justru benar-benar mampu tampil
sebagai karakter antagonis yang sebenarnya. Kelam dan begitu kejam. Begitu
tangguhnya penggambaran karakter tersebut kemudian berhasil dimanfaatkan oleh
Black dan Pearce untuk menghadirkan sebuah kejutan besar yang akan sanggup
memberikan penontonnya bahan perdebatan panjang berhari-hari setelah mereka
selesai menyaksikan film ini – namun tetap harus diakui mampu dieksekusi dengan
baik oleh Black.
Rasanya tidak ada keluhan yang dapat disampaikan dari cara
Black dalam mengeksplorasi berbagai adegan aksi yang hadir dalam film ini. Iron
Man 3, terlepas dari perubahan nada penceritaannya, tetaplah mampu menghadirkan
deretan adegan aksi dan ledakan dalam skala besar dan cukup mengagumkan.
Terlepas dari beberapa karakter yang hadir dalam porsi penceritaan yang cukup
terbatas, departemen akting Iron Man 3 yang diisi dengan nama-nama seperti
Robert Downey, Jr., Gwyneth Paltrow, Don Cheadle, Guy Pearce, Ben Kingsley dan
Rebecca Hall tetap berhasil solid dalam menghidupkan peran masing-masing –
dengan chemistry yang terjalin antara Downey, Jr. dengan Paltrow, Cheadle dan
Ty Simpkins – yang menampilkan penampilan akting yang mengesankan – mampu
menjadi highlight pada banyak bagian presentasi cerita film ini.
Well… kredit utama dari Iron Man 3 jelas layak diberikan
pada Marvel Studios yang dengan berani memberikan kebebasan bagi Shane Black
untuk menciptakan atmosfer penceritaan seperti yang ia inginkan – meskipun
jelas Black terlihat sangat terpengaruh pada kemampuan Joss Whedon untuk
mengubah The Avengers menjadi sebuah film aksi komedi yang benar-benar
menghibur. Naskah cerita yang diarahkan oleh Black bersama Drew Pearce jelas
akan mampu menghadirkan perbedaan pendapat bagi banyak penggemar franchise ini.
Pun begitu, tidak dapat disangkal bahwa Black dan Pearce telah memberikan
sebuah kualitas penulisan naskah yang terasa begitu segar dalam menyikapi tema
superhero yang diusungnya – Hey! Tidak semua karakter superhero harus
dihadirkan dengan jalan cerita kelam seperti yang selalu terjadi dalam dunia
seorang Christopher Nolan. Black mampu menyajikan sebuah presentasi cerita
dengan kehadiran sisi aksi yang mampu tergali dengan baik, dialog-dialog yang
tajam dan cerdas serta sajian drama yang terasa personal namun berhasil
memberikan berbagai komentar sosial terhadap banyak hal yang sedang terjadi di
dunia saat ini. Sebuah sajian yang solid dan menjadikan Iron Man 3 sebagai
bagian terbaik dari perjalanan franchise ini.
0 komentar