Sinopsis Film
Sinopsis 3SUM
05.44
Untuk membuat sebuah film pendek yang efektif serta mampu
memaparkan seluruh ide yang dimiliki oleh para pembuatnya secara tepat dan
padat dalam waktu yang ringkas jelas memiliki sebuah tingkat kesulitan
tersendiri. Film-film omnibus Indonesia yang banyak dirilis pada tahun lalu –
dan seringkali dijadikan ajang perkenalan talenta-talenta baru pembuat film
Indonesia – sayangnya justru membuktikan kelemahan tersebut: banyak diantara
pembuat film pendek tersebut terlalu menggebu-gebu dalam menghasilkan film pendek
mereka sehingga akhirnya justru menghantarkan sebuah film yang terasa terlalu
banyak mengandung ‘apa yang diinginkan oleh sang pembuat film’ daripada tentang
‘apa yang sebenarnya bisa dihantarkan oleh sang pembuat film.’ Megah dari segi
konsep namun sangat lemah dari sisi eksekusi akhirnya.
And then there’s this movie called 3Sum… Berbeda dengan
kebanyakan film omnibus lainnya, yang di setiap ceritanya memiliki benang merah
cerita antara satu dengan yang lain, tiga cerita yang terdapat pada 3Sum berdiri
secara independen. Tidak memiliki ikatan antara satu dengan yang lain. 3Sum
sendiri merupakan sebuah film omnibus yang menampilkan tiga cerita yang
masing-masing berkisah tentang cinta, kehidupan dan kematian dan dihantarkan
dalam tiga genre berbeda pula yakni drama, aksi dan thriller. Sekali lagi…
sebuah konsep yang benar-benar unik namun sayangnya, sekali lagi, terbentur
pada lemahnya eksekusi terhadap jalan cerita yang ingin disampaikan.
3Sum dibuka dengan film pendek berjudul Insomnights yang
digarap secara kolaboratif oleh Witra Asliga dan Andri Cung. Berkisah mengenai
malam-malam kelam yang dialami oleh seorang eksekutif muda bernama Morty (Winky
Wiryawan) akibat penyakit insomnia yang ia derita, Insomnights sebenarnya
memiliki pola penceritaan yang sangat sederhana. Witra dan Andri sepertinya
tidak ingin terperangkap begitu saja dalam kesederhanaan tersebut. Layaknya The
Sixth Sense (1999) yang berusaha menyembunyikan misteri terbesar kisahnya
hingga di akhir penceritaan, Witra dan Andri berusaha memaparkan lapisan demi
lapisan misteri yang bertujuan untuk memainkan insting dan logika para
penontonnya sebelum akhirnya membuka kedok misteri terbesar penceritaan mereka.
Well… adalah sebuah langkah yang sangat berani untuk
mengambil suatu resiko keluar dari zona aman. Namun sayangnya, tidak semua
resiko yang diambil dapat begitu saja menghasilkan kesuksesan. Lapisan-lapisan
misteri penceritaan dalam Insomnightskurang mampu untuk tergali dengan baik.
Belum lagi tata penyuntingan gambar yang terkesan begitu kacau dan gagal
menghasilkan tata penceritaan yang runut. Hasilnya, daripada memicu penonton
untuk menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi pada sang karakter utama di
segmen ini, misteri demi misteri yang dihadirkan justru berakhir datar, jauh
dari kesan menarik dan hanya terlihat sebagai upaya untuk memanjang-manjangkan
durasi cerita. Ditambah dengan kurang kuatnya kharisma Winky Wiryawan dalam
berakting solo di sepanjang penceritaan segmen ini, Insomnights berakhir
menjadi segmen paling lemah dari ketiga film yang dihadirkan dalam 3Sum – dan
sialnya, ketika diletakkan di awal film, justru memberikan penurunan mood yang
amat dahsyat bagi penonton untuk meneruskan perjalanan mereka dalam menyaksikan
3Sum.
Segmen kedua menampilkan Andri Cung dalam performa
pengarahan cerita solonya, Rawa Kucing. Segmen kedua ini memiliki keunggulan
tata cerita sekaligus deretan karakter yang lebih kompleks dari dua segmen lain
dalam 3Sum. Rawa Kucing mengisahkan pertemuan seorang wanita cantik keturunan
keluarga Cina Benteng yang kaya raya, Ayin (Aline Adita), dengan seorang pemuda
lugu tuna rungu, Welly (Natalius Chendana), yang bekerja sebagai seorang
gigolo. Pertemuan yang awalnya dimaksudkan hanyalah sebagai sebuah pertemuan
‘bisnis’ belaka kemudian justru memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan
keduanya di masa yang akan datang.
Sayangnya, meskipun memiliki plot penceritaan yang lebih
kompleks serta deretan karakter yang lebih bervariasi, Rawa Kucing tetap tidak
mampu menghindarkan dirinya dari kesan bahwa jalan cerita film ini begitu
diulur-ulur demikian panjang – Do we really need to stare at shirtless Natalius
Chendana that long? – hanya demi memenuhi kuota durasi penceritaan yang
diberikan . Begitu banyak adegan dalam Rawa Kucing yang terasa begitu hampa dan
diisi dengan dialog maupun kisah yang kurang esensial. Penggalian karakter juga
terlihat hanya dilakukan pada karakter Ayin seorang tanpa pernah memberikan
kesempatan untuk karakter Welly untuk dapat berkembang dengan lebih baik lagi.
Meski begitu, harus dialui bahwa dramatisasi yang dihasilkan oleh Andri dan
diperkuat dengan penampilan solid dua pemeran utamanya sedikit banyak mampu
memicu intrik emosional penonton.
Segmen ketiga dari 3Sum yang diarahkan oleh William Chandra,
Improptu, mungkin adalah bagian terbaik dari film ini meskipun memiliki naskah
cerita yang tak kalah sederhana dari Insomnights. Segmen yang berkisah mengenai
malam penuh aksi dan kekerasan yang harus dilalui oleh satu pasangan kekasih
(Dimas Argoebie dan Hannah Al Rashid) ini mampu tampil kuat karena William
Chandra sepertinya menyadari bahwa dirinya sedang menggarap sebuah film pendek.
Karenanya, ia juga menghadirkan plot dan eksekusi cerita yang sesuai untuk
sebuah film pendek. Tidak pernah berusaha memberikan jalan cerita yang terlalu
melebar serta mampu mengisi kesederhanaan naskah ceritanya dengan unsur-unsur
aksi yang begitu tergarap dengan baik sekaligus hadir dalam ritme penceritaan
yang cepat. Akhirnya, meskipun penggalian karakter serta plot cerita yang
benar-benar terbatas, penonton akan tetap mampu terhibur dengan sajian aksi
yang dihadirkan dalam jalan cerita film ini.
3Sum jelas bukanlah karya terburuk yang pernah hadir dalam
industri film Indonesia. Namun rasanya tidak akan ada yang dapat menyangkal
bahwa ketiga film pendek yang dihadirkan dalam kesatuan 3Sum memiliki cukup
banyak kekurangan yang akan mampu membuat para penontonnya merasa jenuh dan
terjebak dalam penceritaan yang begitu datar. Masing-masing film pendek yang
disajikan dalam 3Sum terasa memiliki visi yang terlalu besar daripada kemampuan
masing-masing pembuat film untuk mengeksekusinya. Hasilnya, ketiganya gagal
menyajikan jalan cerita yang mampu menarik perhatian penonton dan lebih sering
terlihat sebagai sebuah presentasi yang hadir dengan persiapan yang kurang
mapan.
0 komentar