Artikel Menarik
Penulis Itu Haram
04.41
Tak bisa dimungkiri, dalam menulis, tanpa sadar, kita kerap
memvonis tulisan/karya kita sendiri. Hal semacam itu cukup sering juga saya
dapati ketika ada yang meminta saya membaca tulisan mereka—umumnya berupa
cerpen. Tetapi, kadang kala, yang meminta dibaca karyanya itu selalu
menambahkan embel-embel: “Tapi, maaf, tulisan saya jelek, hehehe.” Seakan ada
kesan “tidak menghargai” tulisan sendiri dalam kata-kata itu. Padahal, sebelum
tulisannya itu dihargai orang lain, terlebih dahulu penulisnyalah yang harus
menghargai tulisannya. Betuuul, kan?
Sepertinya, memvonis karya sendiri semacam itu bisa jadi penyakit
mematikan mental nomor satu untuk penulis—atau yang sedang bercita-cita menjadi
penulis. Coba saja kita bayangkan, berapa banyak waktu yang sudah kita luangkan
dan sudah berapa banyak lelah yang kita peroleh hanya untuk menulis cerita yang
pada akhirnya kita katakan jelek juga? Saat kita memvonis karya kita sendiri,
secara tidak langsung kita sudah menggugurkan mental kita sendiri. Mental
kesediaan karya kita dibaca oleh banyak orang atau mental untuk mengirim ke
media atau penerbit-penerbit. Lantas, pada akhirnya, tulisan itu hanya akan
tergeletak di folder komputer dan tak pernah menyeruak mencari jalan keluar.
Menjadi sampah. Menjadi tulisan yang hanya dibaca penulisnya sendiri. Duh,
nggak asyik banget, kan?
Bukankah itu sama saja dengan sia-sia? Waktu dan lelah yang
tak ada artinya sama sekali? Bagaimana kalau kita tak perlu memvonis apa pun
pada karya kita? Tidak perlu bilang jelek dan tidak sampai “angkuh” juga bahwa
tulisan kita sangat, sangat, dan sangat bagus. Kita hanya perlu PERCAYA, bahwa
tulisan kita itu bisa memberikan manfaat bagi siapa pun yang membacanya.
Sederhana, tapi bisa memberi efek yang luar biasa.
Sama halnya saat selesai menulis novel saya—Ketika: saat cinta
bersilangan—sempat hati memvonis tulisan sendiri. Tetapi, kemudian, saya
teringat ucapan seorang teman di dunia maya: “Penulis itu haram. Haram memvonis
karyanya sendiri. Bagus tidaknya sebuah tulisan, satu-satunya yang berhak
memvonis hanyalah pembaca.” Entah bagaimana, saya pun kembali memperoleh
kepercayaan pada tulisan saya sendiri. Berbekal keBERANIan—hal lain yang juga
harus dimiliki oleh penulis—saya pun mengirim naskah ke Penerbit Bukune. Dan,
hasilnya memang luar biasa!
Perkataan teman itu pun sampai sekarang saya masih lengket
di kepala. Sangat berguna ketika saya tengah menulis atau selesai menyelesaikan
sebuah tulisan. Sangat berguna saat saya hendak mengirim ke penerbit atau
media-media.
Lalu, apa yang harus membuat kita tidak percaya pada
kemampuan menulis kita?
Apa yang harus mencekal mimpi-mimpi kita menerbitkan buku?
Tidak ada. Dan, tidak perlu ada.
Mari menulis, mari percaya pada tulisan sendiri, dan mari
berlomba-lomba mengirimkannya ke media dan penerbit. Untuk hasil, waktu yang
akan menjawabnya dengan bijak.
0 komentar